“Barnas itu nama yang familiar bagi orang Sunda,” demikian kata Ahda Imran, wartawan Pikiran Rakyat waktu mengantarkan diskusi The Ninth di Rumah Buku/Kineruku, Bandung pada Maret lalu. Sebagian orang bisa menggunakan variasi nama itu, misalnya Subarnas. Tapi memang asosiasi orang Indonesia terhadap nama “Ferenc” biasanya menyatu dengan “Puskas”—seorang pemain sepakbola legendaris.
Ferenc Barnas berada di Indonesia selama 5-24 Maret 2010. Dia berencana menghadiri publisitas bukunya di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Namun ternyata acara di Jakarta akhirnya batal, jadi dia bisa lebih lama tinggal di Yogyakarta. Di sana dia sempat ke pantai Kukup, sebuah pantai yang kurang terkenal dan lokasinya lebih jauh lagi dibandingkan Parangtritis. Dari Yogya, dia ke Bandung bersama Katalin B. Nagy yang menyelaraskan terjemahan novelnya pada bahasa Hongaria. Ini merupakan kunjungan pertama Barnas ke Bandung, sementara bagi Katalin yang kedua.
“Saya suka cuaca Bandung,” kata Ferenc. “Lebih sejuk dari Yogyakarta.” Benar, apalagi Bandung hari-hari itu sering disergap hujan. Kami berharap pada Sabtu pagi cuaca cerah, jadi bisa ke radio PRFM dengan lebih segar. Benar, esoknya cuaca cukup bersahabat, dan talkshow berjalan lancar. Waktu pulang menjelang waktu makan siang, kami lewat jalan Pasirkaliki, yang lurus mengarah ke gunung Tangkuban Parahu di daerah Lembang.
“Itu gunung apa?” tanya Ferenc menunjuk gunung yang puncaknya datar. Saya berusaha memberi tahu kenapa gunung itu bernama Tangkuban Parahu dan dongeng Sangkuriang-Dayang Sumbi yang mengawalinya, sampai merasa betapa pengetahuan saya pada local wisdom ternyata kurang.
Dari Bandung, Ferenc ke Jogja untuk melanjutkan publisitas di The Ninth di Lembaga Indonesia-Prancis. Wawancara berlangsung setelah dia kembali ke Hongaria.
Apa komentar Anda terhadap Indonesia setelah hampir sebulan berada di sini?
Indonesia adalah sebuah negeri yang sangat mengasyikkan (exciting). Saya berani menyatakan itu walaupun kali ini saya hanya berkunjung ke Bandung dan Yogyakarta. Saya sangat terkesan oleh kebaikan hati, kesopanan orang, dan keeleganan yang saya temui di mana-mana. Dunia, yaitu dunia “luas,” sebenarnya sangat memerlukan sifat-sifat seperti itu terhadap segala hal, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Seandainya saya bisa sering mendapatkan tawa dan senyum di Eropa juga, saya pasti menjadi senang. Tingkat budaya bisa diukur dengan berbagai cara: yang saya sebut tadi merupakan salah satu yang saya nilai penting, bahkan mungkin paling penting.
Apa Anda puas dengan respons publik Indonesia terhadap The Ninth maupun rasa penasaran mereka terhadap Anda sebagai pribadi?
Respons publik Indonesia di luar dugaan saya, dan bukan hanya karena saya melihat buku Anak Kesembilan muncul di antara buku “bestseller” di beberapa toko buku Yogyakarta misalnya. Di sini saya perlu menegaskan peran Gramedia Pustaka Utama: pendekatan profesional dan teliti terhadap novel saya. Saya sangat menghargai sikap para pegiat Rumah Buku/Kineruku di Bandung—mereka menyelenggarakan acara diskusi buku yang serius sekali, dan syukur menarik perhatian banyak orang. Di Bandung juga, wartawan dan penyiar PR FM Intan Puspita, pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan hebat kepada Anda, sebagai penyunting naskah, Katalin B. Nagy, sebagai penyelaras pada naskah asli, dan kepada saya sepanjang satu setengah jam.
Acara diskusi buku yang sama asyiknya pernah diadakan di Lembaga Indonesia-Prancis (LIP) di Yogyakarta, di mana penerjemah ulung (excellent), Saphira Zoelfikar juga hadir. Pada acara tersebut Anda juga berbicara mengenai tantangan dan masalah yang dihadapi selama proses penyuntingan buku Anak Kesembilan. Di sini juga hadir beberapa wartawan, di antaranya Francisca Purnawijayanti, wakil redaktur majalah Basis, yang pada kemudian hari mewawancarai saya dengan saksama. Dan tentu masih bisa menyebutkan beberapa nama lain, misalnya Pak Guru (J. Sumardianta), salah satu kritikus buku terkemuka di Indonesia. Saya sempat berdialog dengan dia secara menarik sebelum acara di LIP. Rasa simpati yang telah diarahkan kepada saya lebih dari mengharukan.
Apa Anda punya harapan khusus terhadap penerbitan The Ninth di Indonesia?
Kenyataan bahwa novel Anak Kesembilan bisa terbit di Indonesia sudah sebuah pemenuhan harapan khusus. Semua yang akan terjadi pada selanjutnya adalah sesuatu tambahan yang istimewa.
Secara umum, aspek apa yang menurut Anda paling menarik dari tanggapan publik Indonesia terhadap The Ninth?
Pertanyaan yang tertuju pada makna dan unsur spiritual, komentar berhubungan dengan batin manusia yang kompleks bisa dikatakan paling khas. Bisa saya akui bahwa karakter tanggapan serupa sangat menyenangkan.
Selama acara publisitas The Ninth di Indonesia, apa rasa ingin tahu (penasaran) publik Indonesia berbeda dengan publik Hongaria dan pembaca edisi Inggris?
Komentar publik pada acara diskusi buku alamiah (natural) sekali. Berarti bukan berbau ilmiah, dan itu biasanya bermanfaat pada karya sastra. Dan menarik juga bahwa para komentator menjelaskan pikiran dan pendekatan orisinil dengan cara yang sering sangat orisinil juga. Seorang sastrawan profesional di Hongaria mungkin akan menghabiskan banyak waktu dengan memposisikan novel Anak Kesembilan ke dalam konteks sejarah sastra dan sejarah resepsi, dan aspek itu sendiri memang penting… Penilaian terhadap publik Amerika Serikat secara umum sulit dilakukan karena sangat anekaragam: ada yang mirip Indonesia, ada yang mirip Hongaria, dan mirip lainnya…
Pernahkah ada review buruk (bad review) terhadap The Ninth? Bagaimana tanggapan Anda?
Menarik juga bahwa walaupun sudah lebih dari tiga puluh resensi buku pernah diterbitkan berhubungan dengan A kilencedik (dalam bahasa Hongaria, Inggris, Indonesia, Vietnam), tak ada di antaranya yang berkesimpulan negatif terhadapnya. Tentu saja ada beberapa kritikus yang pernah mengutarakan pendapat bermacam-macam, dan sebagian di antaranya tak saya setujui, tetapi itu hal biasa. Pendapat berbeda pun tak mengandung penilaian negatif yang mungkin beralasan pada dunia novel Anak Kesembilan.
Hampir semua orang Indonesia penasaran kenapa novel ini berjudul The Ninth Anak Kesembilan). Anda juga bersikukuh tidak ada alasan khusus terhadap angka sembilan, termasuk bagi masyarakat Hongaria. Anda malah menunjukkan pentingnyaSimfoni Ke-9 (The Symphony No. 9) karya Beethoven. Seberapa besar pengaruh Beethoven pada Anda?
Simfoni ke-9 oleh Beethoven sampai hari ini sangat berpengaruh pada kehidupan saya. Tetapi karya ini hanya berhubungan sangat jauh dengan novel saya, yaitu melalui ide “persahabatan”—itu pun cenderung merupakan penyimpangan daripada kenyataan. Waktu saya mencari judul, saya tak pernah memikirkan karya Beethoven yang hebat itu. Mungkin perkataan saya sebelumnya pernah melahirkan kesalahpahaman, karena angka sembilan dalam novel Anak Kesembilan memang punya makna penting, walaupun—seperti pernah saya sebut—saya baru menemukan judul ini setelah proses penulisan sudah selesai. Jadi, saya pilih judul A kilencedik (‘kesembilan’) karena narator berusia 9 tahun, narator adalah anak ke-9 di antara saudaranya, novel terdiri dari 9 bab, janin berada dalam rahim ibunya selama 9 bulan, karena kalau angka 9 dikalikan dengan angka apa saja, kemudian hasil angka tersebut dijumlahkan, hasilnya selalu angka 9 (misalnya 5×9=45: 4+5=9, dsb.); karena dalam budaya Yunani, Tionghoa, Buddha, Yahudi angka 9 punya makna penting: karena narator punya 9 jari utuh (yang ke-10 cacat); karena pengambaran karakter si narator berumur 9 tahun terjadi di antaranya melalui angka (lihat misalnya: “Aku sangat mencintai angka,” kata narator tentang dirinya).
Seberapa penting peran editor bagi karir kepenulisan Anda? Apa Anda sering diskusi dengan editor naskah Anda?
Peran penyunting sangat penting dalam proses pembuatan buku. Beberapa hal hanya dilihat atau bisa dilihat olehnya, karena penyunting adalah seorang luar (outsider). Tetapi saya hanya menunjukkan karya kepadanya setelah saya merasa sudah selesai menulis karya. Baru setelah itu kami mulai melakukan “penyiangan” dan koreksi.
Ada sejumlah novel dengan sudut pandang anak kecil. Novel dengan subjek anak kecil apa yang paling mengesankan buat Anda? Mengapa?
Seorang narator kanak-kanak dapat membantu kita untuk melihat berbagai hal seolah memandang dunia di sekitar untuk pertama kali; dan jika penulis berhasil, juga memungkinkan menangkap dunia yang baru pertama kali dilihat itu secara mental dengan “kata-kata pertama”. Maksudnya, perspektif kanak (kekanak-kanakan) memungkinkan lahirnya sebuah cerita asal (a story of origin) dengan cara orisinil. Biarkan pembaca untuk menilai sejauh mana maksud penulis berhasil.
Apa Anda juga akan mengusahakan agar dua novel Anda diterbitkan dalam bahasa Indonesia?
Mungkin novel kedua yang berjudul Bagatell bisa diupayakan. Tetapi untuk memikirkan saja masih belum waktunya…
Dari segi musik selama dalam acara publisitas The Ninth, mana yang lebih Anda sukai: Ryan Tracy, Yopi dan kawan-kawan, atau Michael Asmara?
Karya Michael Asmara sebagai komposisi musik sangat dekat pada hati saya, dia mengikuti jalur tradisi musik kontemporer yang buat saya, sebagai pendengar, sangat menentukan. Tentu saya berusaha berpikir mengenai itu sebagai penulis juga. Karya Ryan Tracy adalah sebuah adaptasi alinea pertama dari The Ninth untuk piano dan vokal, yaitu transformasi teks menjadi karya musik. Oleh karena itu buat saya lebih daripada sebuah komposisi musik, tetapi lepas dari kenyataan itu, saya sangat menyukainya. Sebagai interpretasi, musik dalam performance Yopi Setia Umbara juga mempunyai pesona misterius sendiri.
Secara teknis, bagaimana cara Anda menyelesaikan proyek penulisan novel?
Saya memikir-mikirkan sesuatu yang saya berusaha atau mencoba catat terus, dan yang sangat lama—lima sampai enam tahun—kemudian baru menjadi jelas apa sebenarnya.
Apa Anda pernah secara khusus mengikuti program ‘creative writing’?
Tidak, apalagi di Eropa program ‘creative writing‘ tidak atau belum selazim seperti di Amerika Serikat atau mungkin di Indonesia…
Apa Anda sudah memulai proyek penulisan novel keempat? Tentang apa subjeknya?
Ya, saya sudah memulai. Mengenai temanya mungkin kita dapat bicarakan lain kali saja, setelah karya tersebut sudah selesai ditulis.
[Anwar Holid]