Anak Kesembilan

ANAK KESEMBILAN
Kiadó: Gramedia Pustaka Utama
Szerkesztõ: Anwar Holid
Kiadás helye: Jakarta, Indonézia
Kiadás éve: 2010
Oldalak száma: 296
Borító: puhakötés
ISBN: 978-979-22-5459-4; 40201100011
Nyelv: indonéz
Fordító: Saphira Zoelfikar.

 

Részlet a könyvből

satu
Tadi malam aku mimpi. Di mimpi itu aku berani: tiga anak laki-laki menghampiriku ketika aku berdiri di sebidang tanah kosong. Awalnya mereka tak kukenali, tapi kemudian aku tahu mereka itu Perec dan teman-temannya. Yang paling pendek memegang kapak. Kupikir mereka akan melakukan itu lagi. Entah bagaimana persisnya, yang jelas aku berhasil merampas kapak itu, dan kulakukan apa yang telah aku lakukan di mimpi sebelumnya.

Semua terjadi secepat kilat, sampai aku tak melihat darah sama sekali, walaupun pasti darah mereka mengucur deras. Lalu kutunggu polisi datang. Dua mobil patroli tiba, tanpa sirene. Ketika para polisi ke luar dari mobil, aku berbalik dan melihat dua mayat mengapung tertelungkup di air tiga sampai empat meter di depanku. Tahu-tahu polisi sudah mengangkat anak ketiga ke luar dari air. Sungaikah itu? Tadinya kupikir begitu. Lalu kusadari aku sedang berdiri di tepi danau. Aku tak takut. Aku tenang. Aku senang dengan yang telah kulakukan. Lucunya, wajah Perec terlihat normal, seolah-olah ia baru saja tenggelam. Walau dua anak lainnya entah di mana, anehnya kupikir wajah mereka pun terlihat normal persis seperti ketika mereka mendatangiku. Tapi aku yakin telah melakukan yang kulakukan di mimpi sebelumnya. Benar-benar yakin. Waktu seorang polisi menaruh tangan di bahuku, kapak masih kupegang. Rasanya enak sekali.

Pukul empat tiga puluh, ketika Papa berangkat kerja, aku bangun. Papa masih kerja di perusahaan kereta api negara, tapi kini ia di direktorat kereta api Rákoskeresztúr. Di sana beberapa waktu lalu ia juga menerima posisi sebagai penjaga. Ia harus mempelajari keahlian baru, karena sementara kami sibuk membangun Rumah Besar, kami benar-benar sulit meluangkan waktu untuk membuat benda-benda rohani yang kami jual ke gereja. Mama bangun sekitar pukul lima. Aku tahu karena setelah itu ia langsung pergi ke luar dan menanyakan waktu pada seseorang di jalan. Ia selalu melakukan itu jika mendapatkan giliran kerja pagi. Pertama kali gereja di Budapest mengadakan pengumpulan dana untuk kami, kami tak mendapat jam, tetapi Mama dilarang telat masuk kerja di pabrik pena dekat kota Szentendre. Belum lama ini ia dijadwalkan bekerja sehari penuh. Karena selalu menambah anak, Mama tak pernah sempat belajar keahlian khusus, dan itu pula di sana ia harus memasang bolpen seharian. Selama Mama bersiap-siap, aku pura-pura tidur seperti saudara-saudaraku. Kepalaku di bawah selimut. Kaki Jungkit, adik laki-lakiku, berada tepat di depan wajahku: kudorong kakinya, seperti biasa. Lalu kucoba tidur kembali, tapi gagal.

Sekarang kami tinggal di Rumah Kecil di desa Pomáz. Papa dan tiga kakak lelaki kami membangunnya dimandori Pak Miska, sementara kami anak-anak kecil menetap di Vila Bom dengan anak-anak perempuan dan Mama. Vila Bom, tempat kami tinggal dahulu, ada di kota Debrecen. Kami menyebutnya Vila Bom karena rumah itu terbakar hangus terkena bom waktu Perang Dunia Kedua. Tapi di tahun empat puluh lima tepat setelah perang Papa membetulkannya, sebagai ganti sewa gratis. Saat itu Papa masih punya uang dari hasilnya sebagai tentara. Tak lama kemudian tentara rakyat komunis yang baru mendepaknya.

Kami semua lahir di Debrecen. Mama selalu membawa salib kayu ke bangsal bayi di Taman Hutan Besar di luar pusat kota. Walaupun Dokter Szilágyi berkata padanya, “Ibu sayang, itu tak akan membantu. Terakhir kali, saya hampir tertimpa masalah gara-gara salib itu.” Lalu Mama merentangkan tangan lebar-lebar, sementara yang di dalamnya mulai menangis. Mungkin orang lain pun melihatnya. Dokter Szilágyi pasti melihatnya.

Lalu ia duduk di ranjang tempat membuat bayi dan mendekap erat salib kayu itu ketika kami ke luar, satu demi satu.

Aku anak kesembilan.

Rumah Kecil terdiri dari satu kamar dan dapur. Papa tidur di dapur, sisanya di kamar. Papa punya ranjang di pojok dekat kompor, khusus untuknya. Di dapur juga ada meja dan kursi. Kamar kami cukup untuk tiga ranjang kayu, tungku besi dan peti besar. Kami menyimpan pakaian di situ. Ketiga ranjang itu digabung jadi satu ranjang besar, sebab kalau tidak ia tak bisa menampung kami semua. Walaupun begitu, kami harus tidur bersilangan; untung saja kami anak-anak kecil ini tidak begitu besar—kecuali aku.

Dulu di Vila Bom; karena ada dua kamar, tidur ternyata lebih mudah. Papa membeli ranjang-ranjang besi dari direktorat kereta api Debrecen dengan harga diskon. Siang hari ranjang-ranjang itu kami lipat, malam hari kami buka. Waktu itu kedua kamar penuh dengan ranjang, belum lagi meja tulis, mesin pencetak plastik, orgel, rak buku, dan lemari cokelat tempat kami anak-anak kecil bersembunyi setiap kali kakak-kakak mendapat hukuman cambuk. Tapi kami membiarkan ranjang besi itu waktu pindah ke Pomáz. Bahagianya aku karena ranjang-ranjang itu kami tinggalkan. Mungkin lebih baik aku jelaskan segera alasannya.

Waktu itu usiaku empat tahun. Suatu sore, entah mengapa aku malas main lompat kodok dengan anak lain, aku masuk kamar dan mulai bermain-main dengan salah satu ranjang besi. Kami memang biasanya membiarkan satu ranjang terbuka di sebelah mesin pencetak, sebagai tempat duduk saat mencetak plastik. Kudorong ranjang itu ke sana kemari sekuat tenaga, lalu kuselipkan jemari satu demi satu di antara jeruji untuk menguncinya. Jempol kiriku kebetulan ada di dalam lubang saat kakakku Kaus tiba-tiba muncul dan melompat ke atas tempat tidur. Aku langsung mengerang, meski tak merasakan apa pun. Mama tergopoh-gopoh masuk dan menarik jempolku ke luar. Tapi bukan Mama yang membawaku ke dokter. Pertama, jempolku dibungkus kain lap, dan kain lap itu dibungkus lagi dengan kertas koran, entah mengapa koran. Kemudian Bubu, kakak perempuan kami yang benar-benar besar, membawaku ke direktorat kereta api, dan dari situ kami ke klinik dengan Papa. Dokter memuji Bubu seperti ini: “Kamu anak pintar, gadisku, kamu telah menyelamatkan jempol adikmu.”

Itulah pertama kalinya aku lama menghabiskan waktu di rumah sakit.

Mama bangun paling cepat. Bubu dan Tera bangun kedua paling cepat. Mereka hampir langsung bersiap-siap karena di musim salju mereka pun memakai pakaian siang di malam hari. Percuma kami saling menghangatkan di dalam selimut, itu saja masih kurang. Sejak disuruh berhenti dari Sekolah Fransiskan di Szentendre, Bubu dan Tera bekerja di pabrik pemintalan rami, jauh di Budapest. Papa mengurus pemberhentian mereka sangat cepat. Ia berkata pada kepala sekolah, “Tolonglah mengerti, Bapa, dengan sembilan ratus forint per bulan yang kami hasilkan—jika uang dari komunis keji itu memang bisa disebut penghasilan, kami sulit membiayai semua kebutuhan. Dan Anda juga tahu, kami masih membangun rumah.”

Bubu dan Tera berangkat setiap pagi segera setelah Mama.

Tinggal tujuh dari kami yang masih di tempat tidur. Pater menghabiskan ruang paling banyak karena ia bersikap seolah-olah tidur di ranjang milik sendiri. Dia kakak laki-laki tertua kami. Percuma menendangnya, ia tak akan bergerak sedikit pun. Ia memang istimewa bahkan dalam tidurnya, apalagi ia selalu tidur dekat Mama. Dan di pagi hari ialah yang kami dengarkan. Ia ajarkan kami cara menyumpal kain di dalam sepatu agar kaki tidak basah kuyup gara-gara salju. Jika perlu, ia ajarkan kami cara memasukkan baju ke dalam celana hangat kami. Jika salah satu dari kami Anak-Anak Kecil terkena flu, ia akan menyuruh Kaus dan Risi, kakak lelakiku lainnya, untuk meminjamkan baju hangat selama sehari. Pater sangat suka bicara untuk kepentingan orang lain, tapi ia tak membiarkan siapapun menyentuh pakaiannya. Ia punya kotak kecil di samping peti kayu besar yang bisa dikunci. Ia satu-satunya di antara kami yang punya celana jin; ia mendapatkannya ketika kami masih tinggal di Debrecen, entah dari mana.

Awalnya Mama sangat ingin jadi seorang pianis, lalu biarawati, tapi kemudian Perang Dunia Kedua tiba, maka kakek-nenekku di Transylvania memutuskan lebih baik Mama jadi istri seorang perwira Hongaria agar ia bisa ke luar dari Transylvania. “Pak Letnan, di manapun anakku hidup, di situ harus ada piano,” kata Nenek Transylvania pada Papa sebelum pernikahan, dan Papa berjanji akan membelikan Mama piano berplat baja.

Pater berusia tujuh belas tahun, dan ia boleh tetap bersekolah di Fransiskan di Szentendre. Diam-diam Mama berharap ia akan jadi pendeta jemaat gereja suatu hari nanti. Sampai melahirkan Tera, anak perempuan terkecil di antara kakak-kakak perempuan, Mama kecewa sekali karena tak kunjung punya anak lelaki, padahal ia ingin sekali punya anak yang jadi pendeta, bagaimanapun caranya. Percuma saja membawa salib kayu itu ke bangsal persalinan, yang ia lahirkan perempuan semua. Pertama Kláró, lalu Bubu, dan akhirnya Tera. Tapi setelah mereka, lahirlah Pater. Lalu Dokter Szilágyi menyimpulkan ia tak akan bertemu Mama lagi. Ternyata ia salah.

Belakangan ini kami tak sarapan di Rumah Kecil. Hanya di malam hari kami menyalakan kompor untuk membuat teh dan roti panggang: kami harus menghemat batu bara, apalagi sekarang tinggal empat kantong tersisa. Untungnya beberapa minggu ini cuaca lebih bersahabat. Papa bilang bahwa di timur sana, selama perang berlangsung di Pengunungan Karpatia, tempat bangsa Rusia membuat mereka selalu waspada sampai tentara Hongaria harus tidur dalam suhu membekukan untuk waktu lama, dan kadang-kadang tak makan sama sekali. “Jadi kalian semua jangan manja!” Papa sering berkata begitu. Menurut Papa, tiada yang lebih nista daripada orang manja. Tapi jika memang ada teh tersisa dari malam lalu, kami meminumnya. Kadang-kadang pakai gula, kadang-kadang tidak, tergantung apa kami mampu membelinya. Kami mendapat kudapan di sekolah, pada waktu istirahat pukul sepuluh pagi. Kami semua dibiayai untuk dijaga di sekolah hingga sore hari, yaitu dua puluh empat forint per bulan untuk tiap anak. Dengan uang itu kami juga mendapat makan siang, ditambah kudapan sore. Hanya Pater dan Kaus yang tidak mendapatkannya. Di sekolah lanjutan atas mereka hanya mendapat makan siang.

Sekitar pukul tujuh lewat lima belas kami berangkat sekolah. Kami Anak-Anak Kecil biasanya pergi bareng karena kami semua sekolah di Sekolah Dasar Nomor Dua. Benjamin di kelas satu, Jungkit kelas dua, Mara kelas empat, dan aku kelas tiga. Risi lebih tua, dan entah mengapa ia di Sekolah Nomor Satu, dekat Bukit Meselia. Sejak tahun lalu, Kaus bersekolah di sekolah teknik di Békásmegyer. Setelah lulus nanti, ia akan jadi ahli listrik. Sekolah kami berlokasi di ujung desa, dekat dengan pemukiman lama. Dari rumah kami harus berjalan sekurang-kurangnya setengah jam. Bus butut itu bisa saja mengantar kami ke sekolah dengan cepat, tapi ongkosnya terlalu mahal buat kami. Pada hari Senin Paskah, dari pintu ke pintu kami memercikkan minyak wangi pada para wanita dan mereka memberikan sejumlah uang sebagai balasan, jadi kami bisa membeli tiket bus untuk sementara, persis seperti teman-teman sekelas dari pemukiman baru, yang sebagian besar selalu naik bus ke sekolah.

Di sekolah kami seolah-olah tak mengenal satu sama lain. Hanya Mara yang kadang-kadang berusaha berbicara pada kami saat istirahat, tapi dia anak perempuan, lagi pula logatnya tak seaneh kami. Kami menghindarinya sedapat mungkin, dan jika kebetulan bersua, kami buru-buru menjauh. Saat harus berbaris, mustahil menghindarinya, jadi terpaksa kami bicara sesuatu.

Guruku bernama Bu Vera. Rambutnya cokelat tua, dan suaranya hampir semerdu suara Mama. Ia tetap mengenakan kaus kakinya selama mengajar. Bu Magdi, guru kami di kelas dua dulu, selalu mengeringkan kaus kaki di atas perapian besi. Bila sudah begitu, dia menumpangkan kakinya di atas meja. “Anak-anak, hanya inilah cara yang bisa membuat kaki Ibu pulih.” Ia selalu berkata begitu, kemudian menghela napas panjang. Tapi ruangan kelas tak jadi lebih bau gara-gara kaus kakinya. Minimal begitulah kesanku. Aku juga tak bertanya pada anak lain. Di kelas dua aku lebih banyak diam.

Bu Vera menyuruhku duduk bersama Szabó. Kami duduk di ujung barisan dekat jendela. Szabó gendut sekali, baunya aneh, padahal ia anak perempuan. Begitu ada di sebelahnya, ia mulai mengamati jari-jariku, karena aku terkadang lupa tentang tangan kiriku itu. Begitu ingat, aku tusukkan bolpen ke tangannya. Mulanya kupikir lemak akan mengalir ke luar dari tangan itu, tapi ternyata tak keluar apa pun, kulitnya melindungi.

Hingga pelajaran menulis, kebanyakan yang kupikirkan ialah kudapan pukul sepuluh dan kudapan di dalam tas Dunai. Dunai duduk di depanku, dan seperti biasa ia membawa segulung irisan salami berbumbu paprika. Sementara kami membaca pelajaran keras-keras, wangi salami makin lama tercium makin kuat. Rasanya aku sedang berada di toko daging yang suka kudatangi sekali atau dua kali seminggu. Saat itu terjadi, aku selalu menyesali mengapa salami harus ada di dunia ini. Jika aku bangun agak siangan setiap hari, penciumanku tak akan sekuat ini, dan mungkin Szabó pun tak akan bau pula bagiku. Entahlah apa ada kamar mandi di rumahnya, apa ia juga mandi, tapi jika aku lupa kudapan Dunai, segera tercium bau mirip di rumah tetanggaku, pria yang kadang-kadang mengajak kami menonton pertandingan sepakbola di TV di rumahnya, dan suka berkata, “Mana si kodok? Mana si kodok?” setiap kali kentut. Tapi mungkin bau ini datangnya dariku sendiri, dan aku hanya menjadikan Szabó kambing hitam.

Waktu istirahat pertama, aku pergi ke kamar kecil di halaman sekolah. Ini hampir merupakan tempat kesukaanku. Besarnya paling tidak sepuluh kali kamar kecil di rumah kami. Aku bahkan bisa jalan-jalan di dalamnya. Aku baik-baik saja dengan baunya. Kamar kecil ini sudah pas bagiku. Ketika anak-anak lain masuk, aku pura-pura hendak pipis. Kadang-kadang kulakukan itu enam atau bahkan tujuh kali. Di situ pula aku memeriksa perut, tapi hanya jika benar-benar lagi kosong. Kuangkat kemeja, kulonggarkan otot-otot, dan aku lihat sebuncit apa perutku. Di pagi hari agak buncit. Teman-teman sekelas berpikir aku kurus kering. Tapi aku telah tumbuh banyak, aku kini hampir sebesar Risi, walaupun ia tiga belas dan aku baru sembilan tahun; dan ketika aku berpakaian lengkap, tubuhku memang kelihatan kurus, harus kuakui itu, kecuali perutku, penuh lemak dan selalu aku tarik ke dalam. Benar, mungkin memang tak akan sebesar perut Szabó, tapi beberapa hari lalu aku mimpi semua lemaknya mengalir masuk ke tubuhku.

Ketika pelajaran menulis aku mulai merasa pusing. Ini rasanya enak, secara bersamaan aku seakan-akan duduk di bangku, seakan-akan tidak. Tangan kananku sedikit gemetar, dan huruf-huruf menggelinding. Ketika Bu Vera mendekat, ia menyuruhku menulis dengan lurus. Aku mencoba. Bu Vera selalu wangi. Ingin rasanya kutanya bagaimana ia bisa sewangi itu.

Setelah kudapan pukul sepuluh, aku merasa jauh lebih baik. Segera suasana hatiku jadi lebih baik dan mengerjakan tugas pun menjadi lebih mudah bagiku. Maksudku dengan suasana hati lebih baik ialah aku mulai jadi seperti orang lain, kecuali tentunya aku tetap jarang bicara. Untung aku jarang harus membaca keras-keras sendirian. Bu Vera sengaja membebaskanku, lagian dengan begitu aku tak menghambat anak-anak lain. Berbeda dengan Bu Magdi. Dulu ia sering menyuruhku membaca keras-keras dan berkata, “Kamu akan lihat bagaimana bagusnya kamu membaca.” Tapi nyatanya jelek; dan memang, ketika akhirnya aku bersuara setelah diam entah berapa lama, ia tertawa bersama teman-teman sekelas; tak peduli sekeras apa pun ia ingin menahan diri, ia tetap tertawa. Yang paling parah ialah Pető selalu membaca lebih baik bila ia mendapat giliran setelahku, tapi hanya jika ia membaca setelahku. Bila ia membaca sebelumku, sering ia terdiam selama setengah menit, kemudian selalu membaca tersendat-sendat, tapi tak seorang pun menertawakannya.

Yang jelas, setiap kali aku duduk diam, berulang-ulang aku membatin sendiri, “Hei, Bu Magdi, kenapa kamu kesulitan mengeringkan kaus kaki di atas tungku? Kenapa kamu kesulitan mengeringkan kaus kaki di atas tungku? Soalnya kami melakukan itu di rumah, tahu, tahu, tahu.”

Sekarang waktu aku mulai jadi mirip teman-teman sekelas selama pelajaran membaca, atau setidaknya kupikir demikian, tiba-tiba terlintas pikiran bahwa mungkin saja akhirnya aku dapat membaca dengan baik. Benar saja, aku berhasil mengucapkan suku kata di sana-sini dengan benar, walaupun masih terbata-bata. Biar Bu Vera pikir aku mengalami kemajuan.

Mama dan Papa kehabisan waktu untuk mempedulikan sebaik apa kami bicara. Mungkin mereka bahkan sedikit gembira bahwa kami semua cacat bicara, kecuali Pater dan Bubu. Benar. Kláró juga bicara seperti orang normal, tapi dia tidak tinggal bersama kami lagi. Ia tetap tinggal di Vila Bom bersama suaminya Csizmadia. Mereka menikah segera sebelum kami pindah, kira-kria waktu aku sedang sakit. Ya, Mama dan Papa bisa tenang, terutama tentang kami Anak-Anak Kecil. Tentu, bahkan jika kami tak mengalami masalah dalam berbicara, mungkin kami pun tak akan cerita tentang kebiasaan Mama mencari kutu pada kami, tentang doa-doa kami, dan tentang bermain Indian. Kadang-kadang kami bisa bicara tanpa masalah. Bagiku, itu ialah ketika Bu Vera memanggilku untuk menjelaskan dengan rinci, Bagaimana kita membersihkan diri di rumah? Aku selalu dapat nilai bagus dalam bercerita bebas, aku lumayan ahli dalam hal itu.

Tapi benar juga bahwa jika kita berbicara seperti seharusnya, banyak yang jadi berbeda: entahlah apa tepatnya pikiran Benjamin dan adik lain tentang hal ini, tapi aku yakin akan cerita satu-dua hal pada Kerepesi. Kerepesi duduk di bangku paling depan. Minimal sekali dalam satu semester ia cerita tentang bagaimana mereka memelihara hanya satu atau dua anak anjing dari induknya, yang bernama Szundi, dan memukul sisanya sampai mati. Di waktu lain ia berkata, “Setelah tiga atau empat dari kalian lahir, ibu kalian harusnya ditubektomi!” Lalu ia tertawa terbahak-bahak. Mulanya aku bingung apa arti tubektomi, tapi kemudian Dunai memberitahuku. Orangtuanya dokter. Mulai saat itu wajahku memerah dan setiap kali Kerepesi bicara hal itu lagi, aku berhenti bicara apa pun. Ketika itu terjadi, aku takut menendang Kerepesi walaupun rasanya sangat ingin; ia jauh lebih kuat daripada aku. Pater pasti bisa memukulinya habis-habisan, bahkan mungkin mematahkan tangannya, tapi aku tak cerita soal Kerepesi pada Pater, ataupun tentang hal lain.

Pelajaran membaca berlangsung cepat, dan perutku mulai terasa sakit. Itu karena Dodó menyuruhku menemuinya nanti. Dodó duduk di kelas tujuh, dan di sekolah ia memerintah semua orang seenaknya. Ia bahkan seenaknya memerintah Molnár, anak kelas delapan, dan terlihat seperti layaknya orang dewasa. Dodó tidak terlalu tinggi, tapi badannya kekar dan berat badannya seimbang. Rambutnya pendek, ada garis panjang dekat mulutnya yang menurut Kerepesi adalah bekas sayatan pisau. Dodó suka menemuiku di waktu istirahat ketiga, di saat urusan-urusan lainnya sudah ia bereskan. Sering ia mengirim anak-anak lelaki ke kamar kecil untuk menarik aku. Hari ini ia mengirim si kembar Gál. “Hei, kelinci bodoh,” kata Dodó padaku waktu aku sampai di sana, “kau masih takut pada anjing?” Dan ia menonjok dadaku, cukup keras, jadi agak sakit sedikit. Hal serupa selalu dia katakan sejak ia lihat wajahku suatu hari di halaman bawah, tempat dua anjing tak bisa berpisah dari satu sama lain. Sedikitnya itulah pikirku. Kejadiannya di bulan September lalu, begitu tahun ajaran dimulai; waktu itu istirahat utama, dan tiba-tiba aku memperhatikan anak-anak itu: sepuluh atau lima belas lelaki mengitari dua anjing yang saling berpunggungan dan melolong. Beberapa anak melempari batu ke anjing-anjing itu, sementara Dodó berdiri di sana dengan kedua lengan bersedekap. Saat tiba di sana, perhatiannya langsung beralih padaku karena ia melihat betapa takutnya aku. Lalu kedua anjing itu akhirnya berpisah. Dodó meludah dan berkata, “Dasar tolol, kau pikir satu-satunya cara untuk berpunggungan itu seperti ini?!”

Aku bergumam sesuatu padanya, berusaha bicara tanpa kesalahan agar ia tak menyuruhku bicara lebih banyak lagi, karena jika itu terjadi, bisa sangat buruk. Jika ia sedang senang, ia puas dengan hanya memantul-mantulkan otot lengannya. Itu artinya ia angkat lengan kemejanya, dan aku harus menekan otot-ototnya dan membuatnya memantul ke sana kemari. Namun, aku tak boleh menyentuhnya dengan tangan kiri. Suatu kali aku begitu gugup sampai tak sengaja mengodoknya dengan tangan kiri. Kadang-kadang ia menyebut memantulkan dengan mengodok. Begitu melihat jempolku, dia dorong aku. “Anak cacat,” teriaknya, “Jangan berani-berani kau sentuh aku dengan itu lagi!”

Hari ini ia menyuruhku jadi kacung bola dalam permainan sepakbola sore itu. “Baiklah,” kataku, dan ia melepasku, walaupun sering ia memaksaku tetap bersamanya sepanjang waktu istirahat. Setiap itu terjadi, aku lihat ia memukul kepala anak-anak lain, berapa banyak uang yang ia peras dari murid-murid kelas satu, atau siapa yang ia pilih sebagai anjing suruhan, yaitu siapa yang membawakan buku tulisnya pulang, karena Dodó tak punya tas, atau kalaupun punya, tak pernah dia bawa.

Setelah pelajaran menyanyi, kami makan siang. Semua murid kelas-kelas bawah makan bersama di kantin. Bagian kesukaanku dari seluruh sekolah selain Bu Vera ialah kantin, dan juga Bu Annus yang bekerja di sana dan selalu membagikan sisa-sisa potongan. Sering ia membagikannya pada kami, bahkan jika tak dapat membagi pada anak lain. Bu Annus adalah kepala koki, itu sebabnya setelah makan siang ia mengizinkanku masuk dapur, di sana ia menyuruhku duduk di meja bagian dalam. Awalnya ia tak pernah melakukan itu, tapi setelah dia dengar anak-anak lain mengolok-olokku, muncul ide tersebut bersama seorang guru lain yang mengurus kami di siang hari. Kadang-kadang ia memanggil Jungkit dan Anak-Anak Kecil lainnya juga, jadi kami berempat sering berada di sana, persis seperti di rumah.

Menu hari ini sup kacang polong dan nasi campur daging cincang. Enam orang duduk bersama di meja, tapi tak semuanya seangkatan denganku. Fazekas seangkatan dengan Mara, sama dengan Semut Merah; Vodenka seangkatan dengan Benjamin; Pető dan Zsoldos seangkatan denganku. Semut Merah menyisakan makanannya, seperti biasa; katanya ia benci makan sampah. Ia hampir tak menyendok supnya sedikit pun, lalu cemberut, lalu meludahkan sup hijau tadi kembali ke mangkuknya. Itu merusak nafsu makan Pető dan lain-lain, tapi aku baik-baik saja. Pandanganku tetap ke mangkuk sendiri sambil makan sup lebih cepat dan cepat lagi. Aku sangat suka nasi dengan daging. Ketika kulihat Semut Merah mendorong piringnya tanpa melahap nasi sama sekali, kuminta makanannya. “Telan saja semua ini, kalau bisa,” katanya ketus seraya meninggalkan meja. Untung saja anak-anak lain diam-diam saja kali ini, jadi cepat-cepat kumakan porsi nasi kedua, dan kukatakan pada diri sendiri, Ia yang memberi kami makanan dan minuman, berkatilah Nama-Nya, karena itulah yang Mama ajarkan pada kami. Di bagian memberi kami, aku memikirkan Semut Merah, walaupun ia sangat menyebalkan, telah mengatakan ”kalau bisa” keras-keras.

Salju turun di luar ketika kami makan siang, membuat semua orang senang. Aku juga. Tapi ketika berbaris, aku celingak-celinguk mencari Mara. Aku ingin tanya apa pendapatnya tentang salju; karena begitu salju turun di Debrecen, langsung saja suhu jadi sangat dingin, sedangkan kini hanya tinggal empat kantong batu bara di rumah. Begitu kulihat Mara, ia langsung tersenyum, seolah-olah tahu yang sedang kupikirkan. Kemudian, setelah pertandingan sepakbola, Mara menghampiriku dan berkata, “Nanti kamu lihat sendiri, semua akan baik-baik saja.” Lalu tawanya meledak keras hingga nyaris menakutkanku. Sejak saat itu aku curiga pada senyumannya.

Di ruang belajar, kami mengerjakan pekerjaan rumah. Kami berempat di ruang yang sama, tapi selalu duduk terpisah, walaupun Mara ingin sekali duduk di sampingku. Aku sendiri entah kenapa malas duduk sebangku dengannya. Aku hanya tak mau, itu saja. Aku malah memilih Donalics, anak yang wajahnya berbintik-bintik dan datang ke sekolah jauh-jauh dari desa Pilisszentkereszt, terletak di atas bukit sana; ia selalu naik bis. Bintik-bintiknya membuatnya cocok duduk di sampingku. Anak-anak lain selalu mengolok, “Donalics, mukamu persis gatal di pantat!” Wajahnya selalu memerah karena itu, maka bintik-bintiknya semakin kelihatan membesar. Baginya, aku juga pastilah pilihan yang cocok, walaupun suatu kali ketika ia mengunciku di kamar kecil, aku meneriakinya hal seperti: “Hei, Gatal Merah, buka pintunya sekarang!”

Di kelas Benjamin sedang tak banyak pekerjaan rumah; kebanyakan mereka latihan membaca. Terkadang ibu guru yang mengawasi kami di sore hari heran betul bagaimana Jungkit, adik kedua terkecilku, kadang-kadang bicara tanpa kesalahan sedikitpun. Bahkan kami pun bingung yang menimpa padanya, karena ia tak pernah bicara sesempurna itu di pagi hari. Mungkin itu efek terlambat dari deterjen pencuci baju: waktu di Debrecen ia nyaris tumbuh dalam kotak deterjen besar karena Mama takut Anak-Anak Besar memerasnya jika ia tidur dengan kami di ranjang besi. Mara menyelesaikan pekerjaan rumahnya cepat sekali. Ia murid terbaik di antara kami. Ia memang baru berusia sepuluh tahun, tapi ia selalu membaca, dan sudah memakai kacamata. Lalu kami semua di ruang belajar dapat berhenti belajar dan tibalah saatnya bermain.

Ketika kami berjalan pulang, hari sudah gelap. Tak segelap kemarin, ketika salju belum turun. Hari ini kami dapat melihat lebih baik. Kebanyakan anak sekolah tinggal di pemukiman lama desa, dan mereka sampai di rumah dengan cepat. Anak-anak dari pemukiman baru, walaupun harus menunggu bus, mereka sampai di stasiun dalam beberapa menit saja.

Kami jalan kaki, seperti biasa. Lampu-lampu di jalan utama selalu padam, paling jauh hanya sampai bioskop; hingga tempat kami tinggal, tiang lampu-lampu itu bahkan belum dipasang. Namun, aku jalan pulang sendirian; aku selalu berhasil mengarang alasan untuk itu.

Aku jalan selambat mungkin, melihat ke hampir setiap jendela rumah. Kebanyakan di jalan utama itu ialah rumah dempet beratap rumah rendah. Jendela-jendela kesukaanku ialah yang gordennya dibuka. Aku amati jendela-jendela itu sampai seseorang di dalam, baik dari kamar ataupun dapur, memperhatikanku. Kalau sedang beruntung, aku bisa berdiri di sana beberapa menit, mengamati perabotan: meja, ranjang, lemari, karpet, perapian lapis ubin, dan semuanya. Yang paling kusuka ialah bahwa setiap rumah dalam keadaan bersih dan memiliki lampu elektronik asli. Kadang-kadang, jika sedang kurang hati-hati, aku tertangkap basah. Kadang-kadang oleh seseorang di dalam rumah, kadang-kadang dari luar. Saat terjadi, seorang bapak atau ibu tua membentak, “Lihat apa kamu?” dan mengusirku. Lalu kulewati beberapa rumah, tapi kemudian aku mulai lagi mengamati jendela-jendela.

Di stasiun kereta aku selalu masuk ke kedai minuman. Mereka menyebutnya Andaka, dan tempat itu penuh pria; mereka minum anggur, brendi buah, dan bir. Asap rokok mengepul tebal sekali di ruangan itu, sampai-sampai aku sulit melihat. Menyenangkan ada di sini, walau aku harus selalu hati-hati jangan sampai ketahuan Pak Pista, yang sekitar pukul enam belum cukup mabuk ataupun tertidur. Namun ia segera meringkuk di pojok, lalu anak-anaknya membawa dia pulang. Aku tahu itu karena pernah ke sana setelah pukul tujuh, tepat ketika Zsuzsi kecil dan saudaranya sedang membangunkan Pak Pista. Lagi pula, aku dan Benjamin juga pernah melihat mereka beberapa kali sedang membopong Pak Pista pulang. Mereka tinggal di dekat rumah kami dan kadang-kadang mengundang kami menonton TV.

Mulanya aku masuk ke Andaka hanya karena penasaran. Aku juga sering melakukan hal sama di tempat lain, terutama toko: hampir semua toko di desa ini pernah kumasuki. Kedua kali aku masuk karena kue spons kecil berbentuk kotak berlapis gula berwarna mencolok yang kulihat saat pertama kali masuk, di dalam lemari kaca di bawah meja pajangan. Kue itu disimpan di sebelah irisan-irisan roti berlapis lemak, dan kue itu berwarna cokelat kemerahan. Tidak kelihatan segar, tapi mungkin itu karena asap. Beberapa minggu kemudian, kusadari bahwa aku selalu mengamati kue yang sama. Tidak terlalu lama: hanya cukup lama sampai cukup saja rasanya.

Walaupun Rumah Kecil kami hanya lima menit jalan kaki dari Andaka, itu merupakan bagian perjalanan pulang paling lama. Rumah-rumah di sekitar sini berukuran besar; tiap rumah berlapis batu tebal di antara fondasi dan bagian utama rumah, persis seperti Rumah Besar kami yang baru setengah jadi. Jika kami mendapat pinjaman dari mingguan Katolik Manusia Baru, rumah itu akan selesai di musim gugur. Hanya sedikit orang yang kami kenal di pemukiman baru desa ini, dan itu wajar, karena baru dua tahun lalu kami pindah ke sini. Sebenarnya Papa bisa menyempatkan untuk mengakrabkan diri dengan para tetangga, tapi ia tak suka hal seperti itu. Malah, Anak-Anak Besar pun dia larang berteman dengan anak-anak tetangga ketika dulu Rumah Kecil kami sedang dibangun. “Kita ke sini bukan untuk bersenang-senang, tapi bekerja!” kata Papa. Maka mereka harus tetap berada di dalam tenda di halaman, tempat mereka tidur di malam hari pada musim panas itu. Pengecualian hanya berlaku pada keluarga Bakos, tapi itu hanya karena Bu Bakos suka membawakan makanan untuk Anak-Anak Besar, dan ia juga mengizinkan mereka mandi di rumahnya; jika ada petir menyambar, mereka bahkan bisa tidur di sana.

Aku berhenti berjalan setelah dua ratus meter memasuki jalan rumah kami. Di depan halaman rumah, tapi di sudutnya, aku mengawasi Rumah Kecil sejenak. Pertama kali aku melihat rumah semacam ini ialah dari kereta, ketika Bubu membawaku ke sanatorium. Dulu kukira rumah-rumah seperti ini hanya ada di Dataran Luas, tapi kini aku tahu bahwa di pemukiman lama pun dibangun, dan bisa dibilang merupakan satu-satunya tipe bangunan di perkampungan gipsi di luar desa. Dinding-dinding Rumah Kecil kami sama tingginya dengan Papa; jika Papa berdiri tegak, kepalanya menyentuh bagian bawah atap. Rumah ini panjangnya kira-kira sepuluh meter dan lebarnya kurang dari lima meter. Dinding bagian luar tidak diplester. Ada pintu dan jendela. Jendelanya ada di kamar, tepat di tengah-tengah dinding. Pak Miska  menyarankan Papa untuk memasang hanya satu cerobong asap, katanya itu saja sudah cukup. Barusan aku melihat ke cerobong, ingin tahu apakah ada asap ke luar atau tidak. Dari sudut halaman ini, yaitu lebih dari dua puluh meter, agak sulit mengetahuinya. Sering penglihatanku menipu. Ketika jalan dari sudut halaman, berani sumpah aku melihat asap, tapi ketika masuk ke dapur, di situ dingin sekali. Kalau aku sedang pulang bersama Jungkit dan Anak-Anak Kecil lain, setiba di stasiun kereta kami selalu mengirim seseorang dari kami untuk lari ke rumah dan melihat apa ada asap dari cerobong. Lalu ketika sampai di ujung jalan, yang lari tadi memberikan tanda. Itulah yang kami sebut bermain Indian.

Hari ini penglihatanku benar. Begitu kubuka pintu, langsung kulihat panci besar dan wajan biru di atas kompor, dan udara hangat menyambut. “Akhirnya kau pulang juga, anak kecilku,” kata Mama, yang sedang duduk di dapur, di satu-satunya kursi di rumah. Mama hanya sedikit lebih tinggi daripada Bubu, dan saat malam tiba ia terlihat lebih kecil lagi, seakan-akan ia menciut di siang hari. Belum lama ini ia berulang tahun keempat puluh lima. Ia selalu menyisir rambut pendek cokelatnya ke belakang, dan itu membuat keningnya lebih menonjol. Tapi yang paling khas dari wajahnya ialah hidung yang sangat mancung dan sedikit tajam, kami selalu bilang hidungnya mirip hidung Bunda Maria. Matanya yang abu-abu kebiruan terkadang berubah sama sekali, terutama saat ia berdoa. Karena telah melahirkan begitu banyak anak, perut Mama benar-benar besar, ia mengenakan korset di dalam bajunya, dan itu sedikit membantu. Kulitnya paling putih di keluarga. Sekarang, diterangi cahaya lilin, ia terlihat pucat pasi, seolah-olah kehabisan darah dari dalam tubuhnya.

“Berapa kali sudah kubilang, jangan kau kelayapan sendirian?” katanya, tapi aku diam saja.

Kecuali Papa dan Pater, yang selalu sibuk, semua orang ada di kamar. Dua batang lilin dinyalakan tiap malam: satu di atas peti besar, satunya lagi di lis jendela. Ketika aku melangkah masuk, kamar itu seperti sedikit bergetar, mungkin karena bayangan saudara-saudaraku bergetar di dinding. Terutama bayangan Jungkit, yang berbaring di ranjang dan mengayun ke depan dan belakang. Ia mulai suka melakukan itu sejak di Vila Bom, setelah tak lagi hidup dalam kotak deterjen.  Di situ, di sebelah mesin pencetak plastik, ia suka berjungkat-jungkit selama beberapa jam. Ia akan berbaring di ranjang besi, mengangkat kedua tangan, dan mulai mengayunkan tubuh bagian atas sambil bernyanyi atau bersenandung. Sama sekali tak terpikir oleh kami apa yang telah dia hirup di dalam kotak deterjen. Yang pasti ialah ia mulai melakukan itu sejak berusia satu setengah tahun dan kebiasaannya belum berubah hingga kini. Pokoknya ia sulit diam saja tanpa bergoyang sedikitpun, walaupun usianya sudah delapan tahun. Kata Papa itu keperempuan-perempuanan, dan kami menertawakannya. Tapi itu sangat mengganggu Kaus. “Bung, kau itu pintar, sungguh, jadi kendalikanlah dirimu!” Sering ia meneriaki Jungkit demikian. Tapi Jungkit tetap saja melakukannya, seperti tuli. Bayangan dua adik kecil lainnya berloncat-loncatan: Mara mengejar Benjamin di depan ranjang. Lagi-lagi mereka bertengkar; dan begitu kudengar Mara berteriak, “Kembalikan,” aku tahu pertengkaran itu seputar boneka Mara. Di antara kami semua, hanya saudara perempuan terkecilku itu yang punya mainan—sejak Natal lalu, lebih tepatnya. Memang sebelumnya ia pernah punya juga, ketika kami tinggal di Vila Bom, tapi telah kubereskan: aku lempar Kati, bonekanya, ke bara api.

Bayangan Bubu dan Tera hanya bergerak di bagian sekitar tangan, dan itu karena mereka berlutut di sebelah peti besar, sibuk membuat kalung manik-manik. Itu artinya mereka sedang membuat rosario. Kami mulai melakukan itu sejak di Debrecen, sekitar waktu kelahiran Kaus. Mama dan Papa kala itu telah punya lima anak, jadi bertahan hidup menjadi semakin sulit saja, seperti kata Bubu padaku di kemudian hari: selain uang tunjangan untuk keluarga sebanyak lima ratus forint, hanya gaji Papa yang mereka miliki. Dan gaji Papa itu sedikit. Gara-gara ia pernah jadi anggota militer tentara lama, cukup lama ia menganggur, dan ketika akhirnya ia mendapat pekerjaan di direktorat kereta api, gajinya malah dipotong. “Akan kutunjukkan pada kaum merah licik itu siapa aku,” kata Papa pada Mama di suatu malam. Dengan bantuan Pak Miska, dalam beberapa minggu saja Papa mendapat izin resmi untuk menjadi pencetak plastik mandiri. Papa bahkan berani pada Tuan Horváth, walaupun seharusnya ia takut. Tuan Horváth ialah polisi yang tinggal bersama kami sejak Desember tahun lima puluh enam di Vila Bom, karena Sekretariat Partai Komunis di Debrecen memindahkannya ke tempat kami dengan alasan keamanan negara. Saat itulah kami membeli mesin pencetak plastik. Namun ketika pindah ke belahan negara nan jauh ini, kami tinggalkan mesin itu karena tak akan muat di dalam Rumah Kecil. Jadi kami berhenti memproduksi benda-benda rohani dalam skala besar sekarang ini, walau sekali-sekali Papa menempuh perjalanan ke Debrecen dan mencetak bahan mentah di tempat Kláró. Lalu ia kembali dengan koper penuh manik rosario, yang ia simpan di dalam kotak-kotak kecil di bawah ranjangnya.

Karena salju, bahkan sebelum masuk ke kamar aku sudah tahu bahwa Bubu dan Tera sedang merangkai rosario. Kapanpun kami sedang kesulitan uang dalam beberapa bulan terakhir ini, kami selalu menjalankan usaha dalam skala kecil, walaupun Papa telah mengembalikan izinnya ke Federasi Perajin Nasional. Bubu dan Tera sudah sibuk merangkai rosario, padahal pasti mereka baru saja sampai di rumah. Mama langsung memberikan mereka pekerjaan; pertama kau harus mengeluarkan tiap manik dari bungkus plastik menggunakan tang, lalu menjalin manik-manik itu dengan untaian tali, dan baru kemudian mengikatnya. Sering kami Anak-Anak Kecil yang mengerjakan penjalinan. Tapi barusan, Kaus dan Risi mengerjakan itu di ranjang karena mereka juga tahu cara membuat rosario. Dulu mereka dapat jatah mingguan di Vila Bom, sama seperti Pater dan kakak-kakak perempuanku. Jika tak menyelesaikannya, Papa akan mencambuk mereka.

Sejak pindah dari Vila Bom, Bubu menjadi sulung di antara kami. Usianya sembilan belas tahun, dan ia satu-satunya yang gendut. Sejak kecil ia gendut, entah mengapa, karena porsi makannya tak lebih banyak daripada kami. Ketika pindah sementara dari Sekolah Katolik Svetics di Debrecen ke Sekolah Fransiskan di Szentendre, ia berusaha menurunkan berat badan agar Bapa Bentai senang. Namun sejak ke luar dari sekolah, ia berhenti menguruskan badan. Bagi kami Anak-Anak Kecil, lemaknya yang banyak itu justru menguntungkan: saat kami berbaring di ranjang setiap malam, kami hampir selalu bergelung di dekatnya, dan dengan memeluk kami, kehangatan ekstra keluar dari tubuhnya, yang mungkin tak akan terjadi kalau ia kurus. Cukup sering kami bertiga berdesak-desakan di dekatnya, dan Bubu sangat senang memeluk dan membelai kami. Tapi kemudian Mama, jika sedang berada di rumah dan tak terlalu letih untuk mengomel, selalu melarang kami untuk saling menyentuh, seperti ini, “Cukup berguling-gulingan seperti itu! Hentikan sekarang juga!”

“Kau bawa sesuatu?” tanyaku pada Bubu sambil jongkok di sampingnya. “Tidak, kucing kecil, tidak hari ini,” katanya, dan wajahnya berubah menjadi seperti sedang di gereja, tempat aku kadang-kadang menatapnya diam-diam. Setahuku tiada orang lain yang ekspresinya berubah-ubah secepat Bubu. Ketika ia melihat jempolku waktu di Vila Bom, betapa hanya sedikit kulit yang menyelamatkan jempolku dari jatuh ke lantai, awalnya ia memucat dan mulai berteriak, setidaknya itu menurut Pater yang ingat banyak hal.

Ada yang salah dengan masing-masing dari kami, tapi mungkin tidak dengan Kaus, kalau sifat pemarah tak terhitung sebagai kesalahan. Dulu di Vila Bom, contohnya, ketika suatu kali Pater tidak memberikan sesuatu padanya, Kaus mengangkat batu bata dan melemparnya ke kepala Pater. “Lain kali kau akan memberikannya padaku, Tuan Besar,” teriaknya, lalu berlari ke jalan, sementara darah mengucur dari kepala Pater. Harus kuakui bahwa Kaus berusaha sabar dan perhatian padaku setelah kecelakaan itu. Ketika aku kembali dari rumah sakit, ia menggiringku ke ranjang besi tempat jempolku tersangkut dan berkata, “Lihat sini, tahi kecil, jeruji-jeruji ini bukan untuk menjepit jari! Jangan ada masalah lagi, paham?” Lalu ia menepuk kepalaku, menyenangkan rasanya. Belakangan ini sasarannya ialah Jungkit; entah apa yang sebenarnya mengganggu Kaus, padahal siapa tahu mungkin dia sendiri yang pusing kepala, bukannya Jungkit. Kami tahunya ialah bahwa setiap beberapa saat Kaus pasti meledak. Bahkan sekarang ia berteriak dengan mata membara, “Lakukan sesuatu dengan anak gila ini secepatnya!

Sekitar pukul tujuh kami mulai makan malam, jadi kami bisa selesai sebelum Papa pulang. Sepulang kerja, Papa tak tahan dengan segala keributan di sekelilingnya. Sama halnya dengan Mama, tapi Mama pura-pura tak terganggu. Waktu kecil, Mama sulit tidur bahkan jika jam weker berada di kamarnya. “Anakku, bagaimana bisa kau menghadapi semua ini?” tanya Nenek Transylvania ketika pihak berwajib akhirnya mengizinkannya masuk Hongaria supaya ia dapat mengunjungi kami di Debrecen. Mama hanya mengangkat kedua tangan lebar-lebar dan tersenyum.

Sekarang waktunya makan malam, dan kami duduk di mana pun ada ruang tersisa. Walaupun mendapatkan beberapa kursi pada pengumpulan dana pertama, kami menyimpan semua kecuali satu di gudang di halaman, karena tak ada lagi ruang untuk kursi-kursi itu di dalam rumah. Maka biasanya kami makan di ranjang gabungan yang sewajarnya cukup untuk tiga orang, tempat bahkan kini ada enam dari kami. Hanya dua kakak laki-laki tertua yang masuk ke dapur, mereka makan sambil duduk di ranjang Papa.

Seperti biasa, menunya adalah roti panggang dan teh.

Setiap orang minum tiga atau empat gelas teh, dan aku minum bahkan lebih banyak. Jadi setidaknya salah satu dari kami selalu ke kamar kecil. Kamar kecil kami berada di ujung halaman, dekat gudang. Kami ke luar rumah, satu demi satu, dan melangsungkan urusan masing-masing. Memang tidak selalu gampang menjalaninya pada musim dingin, tapi biasanya kami berhasil. Setelah kembali, kami mencuci tangan di baskom, lalu kami selesaikan makan malam dan bersiap-siap tidur. Proses itu sebentar karena kami hampir tak menanggalkan sepotong pakaian pun.

Selembar selimut tersedia bagi tiap dua orang, jadi kami tidur dengan kepala di samping kaki orang yang di sebelah. Dulu di Vila Bom, berlaku hal serupa. Kami Anak-Anak Kecil ingin sekali berbaring normal, tapi mustahil, karena kalau begitu kami akan makan tempat orang lain. Sebelum tidur kami tak bergelung dengan Mama karena ia sebal itu. Bahkan dulu di Debrecen menurutnya itu memalukan. Aku hampir selalu tidur di antara Jungkit dan Risi. Bahkan sekarang aku masih di antara mereka, menunggu dimulainya doa kami. Kami harus menyuruh Jungkit berhenti, kalau tidak, ia terus bergoyang maju-mundur bahkan selama Doa Bapa Kami. Seseorang menggenggam tangannya; entah siapa. Kalaupun Jungkit minum teh hampir sebanyak aku, tehnya pasti tidak mengocok lagi di dalam perutnya.

Lalu Mama memimpin Doa Bapa Kami. Seperti biasa setiap memimpin doa, suaranya tambah nyaring, menipis, dan lebih jelas terdengar getarannya. Berbeda waktu di gereja, tempat ia berdoa lebih keras dibandingkan semua orang, tapi tak terlalu kentara. Kami hapal doa ini dengan sangat baik; sudah bertahun-tahun kami selalu mengucapkannya sebelum tidur. Kalau Mama bekerja hingga malam, Bubu yang memimpin doa.

Setelah Doa Bapa Kami, kami melantunkan Salam Maria. Sering Mama bahkan tak memberi jeda, langsung memulai, bahkan jika kami masih mengatakan bebaskanlah-kami-dari-yang-jahat. Lalu kami berdoa untuk Imuka, anak ketujuh. Ia meninggal di Debrecen, di hari kelahiran Mara. Imuka sakit kurang darah, itu sebabnya ia tak dapat bertahan hidup. Siapapun yang kurang darah di usia dua tahun mustahil bertahan hidup. Petugas di klinik mengatakan bahwa penyakit kurang darah itu tak terobati. Mulanya Mama menolak itu. Pikirnya, ia dapat mendoakan saja kesembuhan Imuka, seperti dulu ia mendoakan masalah tulang belakang Pater. Menurut dokter, Pater mustahil bisa berjalan lagi; mereka bahkan mengikatnya ke rel plester, dan ia harus memakainya selama dua tahun penuh. Lalu Mama berhasil mendoakannya sembuh, tapi ia gagal mendoakan kesembuhan Imuka dari leukemia. Namun Mama tak menangis di pemakaman. Waktu itu aku belum lahir, aku tahu semua itu dari Bubu, yang juga berkata bahwa selama pemakaman Papa tak henti-hentinya gemetar.

Jika saja aku sehat-sehat saja, mungkin sekarang kami sedang mendoakan mendiang saudara kami di Vila Bom: ”Bapa, biarkanlah jiwa Imuka, yang belum bercampur dosa, dekat dengan-Mu, karena ini kehendak-Mu. Kau putuskan ia untuk tak mengenal lebih jauh dunia tempat kami harus tinggal. Kau bebaskan ia dari keharusan mencari jalannya kembali pada-Mu melewati berbagai godaan; terimalah penderitaannya ke kuasa-Mu yang tanpa batas, karena hanya Engkau yang tahu mengapa Engkau memilihnya untuk pengorbanan dini ini. Amin.”

Mamalah yang berdoa. Kami hanya mengucapkan bagian tentang penderitaan dan penerimaan Imuka di kuasa-Mu yang tanpa batas atau ia yang tak berdosa, dan kami bahkan tak mengucapkannya serentak, karena tiap malam Mama mengucapkan doa yang berbeda untuk jiwa Imuka, jadi kami sulit bila hanya mengingat satu doa. Tapi yang pasti kami mengucapkan Amin serentak; mengucapkan A dengan sangat keras, lalu tertawa sendiri, seperti biasa. Mama tertawa bersama kami, yaitu dengan memaksakan senyum, karena mungkin pikirnya jika ia melakukan itu, wajahnya akan berubah. Walau begitu, Mama mustahil mengelabui kami di dalam gelap, terutama dalam cahaya lilin: suaranya melemah selagi menyuruh kami untuk ”jangan tertawa keras-keras” sehingga kami tahu sebenarnya ia menangis lagi dalam hati. Tapi kami dapat melihat dan terutama merasakannya, persis seperti biasa, kala tatapannya terasa sangat berjarak sehingga kami takut padanya. Lalu Mama berdiri, meniup lilin, mengucapkan selamat malam, dan pergi ke dapur.

Begitu Mama meninggalkan kamar, kami berhenti tertawa. Kami semua pura-pura langsung tertidur. Anjing-anjing tetangga menggonggong. Mereka mengobrol, kami tidak. Segera saja, semua orang benar-benar tertidur. Semua orang kecuali aku. Aku memikirkan jika Imuka belum meninggal di Debrecen, mungkin aku pun tak akan jatuh sakit. Masalahnya ialah waktu itu aku mulai seperti Imuka, maksudku, memucat sejak beberapa bulan setelah Kaus hampir mematahkan jempolku. Ketika berusia lima tahun, seluruh tubuhku mulai memutih, terutama wajah. Sebenarnya aku sendiri sudah lupa, aku diceritakan dikemudian hari. Di sanatorium di atas perbukitan Budapest, aku bahkan sulit memberi tahu teman-teman sekamar mengapa aku dirawat di sana. Tentu, pada saat menjenguk, Bubu bilang bahwa aku dirawat di sana agar tumbuh lebih kuat, dan bahwa menurut dokter di klinik Debrecen, udara segar akan sangat membantu. Namun aku selalu lupa itu. Tapi kini aku tahu bahwa udara segar memang menyembuhkan. Itulah sebabnya kami tinggal di desa ini, Pomáz. Bukit-bukit Pilis ini tak akan membiarkanku mati. Keadaan kulit wajahku sudah membaik.

Tapi jika Imuka belum meninggal, Mama dan Papa pasti tak akan sekhawatir itu mengenai wajahku, dan mengenai aku yang enggan beranjak dari ranjang besi. Kadang-kadang aku hanya berbaring saja di situ beberapa minggu. Sekali waktu, ketika Jungkit, Benjamin, dan aku di dalam lemari, aku lihat diriku sendiri berbaring di ranjang besi itu; entah bagaimana itu bisa terjadi. Aneh juga bahwa aku nyaris lupa sama sekali tentang sanatorium. Jika, misalnya, Bubu tak datang mengunjungiku ke sana setiap dua minggu, mungkin aku pun lupa pernah dirawat di sana, walaupun baru dua tahun yang lalu mereka mengizinkanku pulang. Selain pura-pura bersuara seperti orang tidur, aku hanya bisa mengingat bahwa seseorang mengambil cokelatku, tapi aku pun lupa waktu itu terjadi. Bubu yang memberitahuku bahwa kami hendak pindah ke perbukitan di sebelah utara Budapest. “Kau akan lihat, kucing kecil,” katanya, “kami akan tinggal di Pomáz sebentar lagi, dan kau bisa ke luar dari sanatorium.” Ia berujar demikian sambil menggenggam tanganku. Maksudku tangan yang utuh, karena aku menghindarkan siapapun memegang tangan satunya lagi, bahkan Mama sekalipun. Jika kami mendapat pinjaman, kami hanya harus menjalani ini beberapa bulan lagi, lalu kami akan pindah ke Rumah Besar. Di sana, setiap orang akan tidur di ranjang masing-masing. Kami juga akan punya kamar mandi. Kami akan mandi di bak betulan. Inilah yang terpikir olehku hampir setiap malam. Kalau memikirkan air, biasanya aku lebih gampang tertidur.

Fülszöveg

Bagaimana mungkin seseorang bisa mengutarakan isi batinnya di tengah dunia yang rusak nyaris di segala bidang?

Novel ini mengajak pembaca memasuki alam pikiran seorang anak kecil dengan ingatan luar biasa. Dia menceritakan rahasianya yang paling kelam, mimpi-mimpi paling brutal karena tekanan hasrat terpendam ingin menyalurkan dendam, iri dengan bekal milik kawannya, bertahan dari kekerasan kakak kelas, kesenangan setiap kali ada orang yang meninggal, juga bersaing dengan kawan sekelas untuk menarik perhatian gurunya.

Anak ini juga pengamat sosial yang tajam. Dia penasaran kenapa gaji ayahnya gagal memenuhi kebutuhan keluarga, padahal seluruh anggota keluarga sudah dikerahkan untuk banting tulang, betapa seorang kawannya diam-diam menyembunyikan foto perempuan telanjang, dia juga menyaksikan ada ayah kawannya yang tiap hari mabuk sampai ambruk di bar, dan di sela-sela main sepak bola bersama saudara dan kawan-kawannya, pikirannya kerap khawatir soal hari esok, sampai dia sendiri akhirnya nekat melakukan dosa pertama, meskipun ia pernah menjadi putra altar dan ibunya senantiasa mengajak doa bersama sebelum tidur.

The Ninth adalah novel perenungan pribadi yang lebih memberikan dasar untuk eksplorasi daripada yang muncul di permukaan, dan merupakan novel yang berhasil memunculkan suara anak kecil dengan baik.

—Josh Maday

Elnézést, a hozzászólás ezen a részen nem engedélyezett.